Meski begitu, Estevez menunjukkan orisinalitasnya, yakni pada bagaimana ia menggambarkan wajah AS pada 1968 itu. Estevez membonceng kisah tragis Robert Francis Kennedy –senator AS yang tewas ditembak tahun itu. Namun, Bobby (2006) sendiri dimulai dengan cerita kematian tokoh kemanusiaan Martin Luther King yang juga mati ditembak.
Ketika King tewas, AS saat itu adalah sebuah negara adidaya yang tengah sakit. Dililit perang Vietnam, AS juga mengalami guncangan besar kebudayaan, euforia demokrasi, dan huru-hara rasialisme. Robert F Kennedy –akrab dipanggil Bobby– muncul sebagai calon presiden AS sekaligus harapan terakhir negeri Paman Sam untuk mengakhiri blunder Richard Nixon.
Syahdan, di jantung kota Los Angeles. Manajer Hotel Ambassador, Paul (William H Macy), dibuat sibuk mempersiapkan perhelatan besar. Sebuah hajatan akbar, dan kelak yang paling bersejarah, bakal berlangsung di ballroom hotel berbintang itu, yakni kampanye senator Robert F Kennedy.
Kemenangan Kennedy di LA disebut-sebut sebagai kunci kemenangan dia di seantero negeri. Kemenangan yang disebut-sebut bakal mengubah wajah AS. Dan, itu dimulai di hotel berbintang Ambassador. Tapi kemudian, sutradara Estevez bergerak metaforis. Ia menjadikan romantika kehidupan di Hotel Ambassador sebagai wajah AS itu sendiri, yakni mikrokosmos bagi pertarungan kelas, ras, drama politik, sekaligus skandal percintaan. Film pun mulai bercabang-cabang bagai ranting pohon.
Kamera lantas menyorot ke dapur hotel. Pada ruangan berbalut cat biru muda ini, konflik ras menemukan wujudnya yang vulgar. Manajer dapur yang rasialis, Timmons (Christian Slater), secara tak adil menugaskan dua koki berdarah Meksiko untuk piket ganda. Jadwal kerja ini mematikan kesempatan keduanya ikut pada pemilihan umum presiden AS.
Paul, manajer hotel, murka. Timmons dituding rasialis dan, lebih dari itu, dituduh tak menyokong pesta demokrasi. Ia dipecat. Tema demokrasi menjadi pesan penting drama politik Bobby.
Simaklah ketika seorang reporter asal koran Chekoslovakia, Lenka Janacek (Svetlana Metkina) ditolak mentah-mentah tim kampanye Bobby mewawancarai sang senator lima menit. Alasannya sederhana. Di Cheko tak ada pemilu dan, karenanya, Cheko bagai negara haram bagi AS.
Kemudian muncul kisah pasangan Romeo-Juliet, William (Elijah Wood) dan Diane (Lindsay Lohan), yang baru saja memutuskan menikah di salah satu kamar Hotel Ambassador. Ini bukan pernikahan biasa. Diane tak sekadar ingin dipersunting lelaki pujaannya, tetapi juga ingin melawan negaranya. Lewat pernikahan ini, Diane telah membebaskan William dari wajib militer ke Vietnam.
Kemudian film bergerak pada sosok Miriam (Sharon Stone), kru tata rias hotel. Miriam baru tersadarkan kesetiaannya baru saja disobek-sobek Paul, suaminya, yang diketahuinya berselingkuh dengan seorang petugas penerima telepon hotel.
Film lantas beringsut pada kehidupan Virginia Fallon (Demi Moore) yang mengalami kebuntuan hidup. Fallon adalah penyanyi yang kariernya mulai padam, namun ia didapuk menyanyi pada prosesi penyambutan Bobby di hotel itu. Tapi, ia terus menerima rongrongan dari suaminya, Tim (Emilio Estevez), yang berujung kehampaan hidup.
Secara sepintas, diceritakan pula tentang kehidupan pensiunan John Casey (Anthony Hopkins), seorang mantan pekerja Ambassador, yang kini menghabiskan waktunya bermain catur di lobi hotel tersebut. Mereka menunggu Bobby tiba di hotel ini, berpidato, dan kelak membawa perubahan bagi AS dan mereka.
Dua orang tim kampanye Bobby, Cooper (Shia LaBeouf) dan Jimmy (Brian Geraghty), adalah sosok pemuda idealis yang percaya demokrasi dan Amerika yang berubah. Lucunya, keduanya malah jatuh teler akibat obat bius menjelang Kennedy tiba di hotel itu.
Satu-satunya wajah yang tak muram adalah kehidupan pasangan Jack (Martin Sheen) dan Samantha (Helen Hunt). Mereka adalah salah satu penyokong dana kampanye Robert F Kennedy yang sukses mengatasi kegalauan hidup AS pada 1968 dengan kembali pada diri sendiri.
Begitulah Estevez. Ia membuat kita bagai keluar masuk partisi-partisi. Ada lebih dari setengah lusin subplot berseliweran dalam film berdurasi 111 menit ini. Penonton, yang kurang biasa menikmati penyajian kontemporer ini, akan sedikit terganggu. Namun, taburan para bintang membikin film ini seperti karnaval yang ramai. Dan, dialog-dialog yang menghanyutkan cukup membikin kita sabar menunggu, menunggu, dan menunggu ujung cerita film ini.
Hingga akhirnya ke-24 tokoh fiksi itu berjumpa pada satu muara, yakni ballroom Hotel Ambassador. Di situlah Bobby Kennedy menyampaikan pidato kampanyenya yang inspiratif. Beberapa menit kemudian ia tewas ditembak di dapur hotel tersebut.
Inilah akhir emosional film Bobby: Kematian Bobby yang mengguncang. Perasaan campur aduk pun muncul –antara terkejut dan hambar. Bukan perasaan yang sederhana, seperti halnya plot film ini yang dibuat tak sederhana.
Sumber : www.republika.co.id