Muhammad nama anak laki-laki buta itu. Dari keluarga miskin yang ditinggal mati ibunya. Bapanya seorang pekerja kasar di desa yang selalu gelisah dengan kesendirian serta selalu terganggu oleh ketidakpercayaan dirinya sebagai tiang keluarga: Muhammad, Bahareh, Hanieh, dan sang nenek tua. Muhammad dititipkan di sekolah sosial untuk anak buta di kota. Kedua saudara perempuannya cukuplah bersekolah di desa, sekolah untuk anak normal. Sang
nenek bertani dan beternak ayam. Potret keluarga manusiawi di sebuah desa miskin namun berbunga indah dan berkupu-kupu, warna-warni, warna surga. Persoalan dimulai ketika sekolah Muhammad memasuki masa libur panjang. Semua murid harus pulang ke rumah masing-masing, karena guru pun perlu libur dan menghabiskan waktu dengan keluarga. Satu per satu teman sekolah Muhammad dijemput oleh keluarga mereka. Hingga tinggallah Muhammad. Tanpa penjemput, tanpa keluarga. Ia menangis.
Dalam tangis itu, Muhammad mendengar tangisan lain. Dari seekor anak burung yang jatuh dari sarangnya, dan celakanya belum bisa terbang. Muhammad menghentikan
tangisnya. Dia tahu, bahwa ada tangis lain yang lebih
berhak atas perhatian Tuhan. Dengan segala daya dan
kebutaannya, hanya mengandalkan pendengaran dan
hatinya, Muhammad mengembalikan anak burung itu ke
sarangnya, di atas pohon.
Seorang lelaki tua dengan mata tipis harapan
menghampiri. Ia bapa Muhammad. Waktunya sekarang untuk
menjemput sang anak. Namun, datanglah keraguan dalam
dada si bapa. Bagaimana saya harus memelihara anak
buta ini? Apakah saya mampu? Apakah dia nantinya bisa
mandiri? Setelah permintaannya kepada guru --agar
Muhammad dititipkan saja di sekolah itu selamanya--
ditolak, si bapa terpaksa membawa pulang Muhammad ke
desa. Menuju kehidupan yang bertambah keras, oleh
tambahan satu beban. Beban yang buta pula.
Dan Muhammad. Apa yang diketahui seorang anak kecil
buta tak berdosa itu? Dia berlari-lari kecil di
sepanjang pematang sawah --terkadang jatuh-- tak sabar
menemui kakaknya tersayang Bahareh, adiknya tercinta
Hanieh, dan terutama neneknya yang terkasih, Azizah.
Ia telah menyiapkan bingkisannya sejak lama. Kalung
tutup botol buat adik, sisir plastik buat kakak, dan
gunting kuku warna merah, hadiah juara di kelas, untuk
nenek. Kebahagiaan dan kehangatan di pojok desa kecil
akan datangnya aku, laki-laki keluarga. Dia bahagia.
Dia lupa akan butanya. Ketika diremasnya tangan
neneknya, dia berkata: "Nek, bagaimana kamu bisa punya
tangan seputih ini?". Berderai air mata, azizah
menjawab, "Muhammad, ketahuilah, tangan azizah hitam
2
oleh umur, jelek oleh cuaca". Muhammad tidak menerima,
"Tidak mungkin. Tanganmu halus sekali" [kamera
berfokus kepada tangan Muhammad --kecil dan halus,
mengusap tangan azizah --tua, keriput, kurus].
Burung-burung bernyanyi, mengiringi cinta di antara
dua manusia itu.
Tetapi, warna-warna tidak abadi. Bapa semakin gelisah
akan penghasilannya yang sangat minim dan kewajibannya
menghidupi keluarga. Dan, oh, hatinya tertambat kepada
seorang janda di desa sebelah. Menikahi sang kasih
tidaklah semudah mengangkat karung arang atau membelah
pohon sebagaimana pekerjaannya sehari-hari.
Tabungannya tidak ada, penghasilannya selalu kurang.
Tapi, oh. Haruskah aku hidup begini selamanya? Maka si
laki-laki tua berkeputusan: melamar. Dengan segala
ketakadaan, mahar dia sediakan. Dan, demi sedikit
mengurangi tanggungan, Muhammad harus di"titipkan"
kembali.
[Dan ini yang aku suka: sentuhan wanita pada filem
mengambil tempat]. Nenek dan kedua saudara Muhammad
protes keras. Mereka tidak rela Muhammad dijauhkan
lagi dari keriaan keluarga miskin itu. Muhammad pun
begitu. Dia merasakan kebahagiaan bersama nenek yang
mengasihinya. Dia bisa mengikuti pelajaran di sekolah
normal di desa bersama saudaranya. Dia bisa "melihat"
warna-warna surga di desa itu. Tapi tidak demikian
dengan bapanya.
Dalam kelengahan nenek, bapa memaksa membawa Muhammad
ke desa lain. Ia dititipkan ke tukang kayu tunanetra.
Disuruh bekerja agar kelak bisa mandiri. Maka, dari
mata buta yang kecil itu, kembali mengalir air...
Dengan hilangnya Muhammad, warna menjadi gelap. Nenek
sakit dan akhirnya mati. Bahareh dan Hanieh sedih dan
menangis merindukan saudaranya. Bapa dilanda sesal,
apalagi setelah lamarannya dibatalkan. Lelaki tua itu
tak berdaya. Menangis meraung. Ia rindu pada Muhammad.
Dan, bapa kembali menjemput Muhammad. Tanpa uang buat
bayar bis, ia memutuskan naik kuda. Dalam
perjalann pulang dengan Muhammad di atas kuda itu,
jembatan kayu ambruk. Muhammad dan kuda hanyut di
tengah arus deras sungai dan hujan yang marah. Si bapa
tertegun melihat anaknya ditelan alam. Ia melompat.
Tapi apalah daya seorang tua peragu. Ia pun hanyut...
Ketika bangun, ia mendapati diri di sebuah pantai sepi
dengan burung-burung di atas memandang. Dan di sana.
Di sana ada tubuh Muhammad. Mati. Dia, si bapa,
berlari menjemput anaknya. Dipeluknya dalam tangis tak
berkesudahan...
[fokus kamera pindah ke tangah Muhammad, bercahaya,
bergerak kemudian tamat....] /
source : http://www.patunru.org/