Jumat, 20 November 2009

The Color of Paradise - (Majid Majidi, Iran)

Photobucket

Muhammad nama anak laki-laki buta itu. Dari keluarga miskin yang ditinggal mati ibunya. Bapanya seorang pekerja kasar di desa yang selalu gelisah dengan kesendirian serta selalu terganggu oleh ketidakpercayaan dirinya sebagai tiang keluarga: Muhammad, Bahareh, Hanieh, dan sang nenek tua. Muhammad dititipkan di sekolah sosial untuk anak buta di kota. Kedua saudara perempuannya cukuplah bersekolah di desa, sekolah untuk anak normal. Sang

nenek bertani dan beternak ayam. Potret keluarga manusiawi di sebuah desa miskin namun berbunga indah dan berkupu-kupu, warna-warni, warna surga. Persoalan dimulai ketika sekolah Muhammad memasuki masa libur panjang. Semua murid harus pulang ke rumah masing-masing, karena guru pun perlu libur dan menghabiskan waktu dengan keluarga. Satu per satu teman sekolah Muhammad dijemput oleh keluarga mereka. Hingga tinggallah Muhammad. Tanpa penjemput, tanpa keluarga. Ia menangis.

Dalam tangis itu, Muhammad mendengar tangisan lain. Dari seekor anak burung yang jatuh dari sarangnya, dan celakanya belum bisa terbang. Muhammad menghentikan

tangisnya. Dia tahu, bahwa ada tangis lain yang lebih

berhak atas perhatian Tuhan. Dengan segala daya dan

kebutaannya, hanya mengandalkan pendengaran dan

hatinya, Muhammad mengembalikan anak burung itu ke

sarangnya, di atas pohon.

Seorang lelaki tua dengan mata tipis harapan

menghampiri. Ia bapa Muhammad. Waktunya sekarang untuk

menjemput sang anak. Namun, datanglah keraguan dalam

dada si bapa. Bagaimana saya harus memelihara anak

buta ini? Apakah saya mampu? Apakah dia nantinya bisa

mandiri? Setelah permintaannya kepada guru --agar

Muhammad dititipkan saja di sekolah itu selamanya--

ditolak, si bapa terpaksa membawa pulang Muhammad ke

desa. Menuju kehidupan yang bertambah keras, oleh

tambahan satu beban. Beban yang buta pula.

Dan Muhammad. Apa yang diketahui seorang anak kecil

buta tak berdosa itu? Dia berlari-lari kecil di

sepanjang pematang sawah --terkadang jatuh-- tak sabar

menemui kakaknya tersayang Bahareh, adiknya tercinta

Hanieh, dan terutama neneknya yang terkasih, Azizah.

Ia telah menyiapkan bingkisannya sejak lama. Kalung

tutup botol buat adik, sisir plastik buat kakak, dan

gunting kuku warna merah, hadiah juara di kelas, untuk

nenek. Kebahagiaan dan kehangatan di pojok desa kecil

akan datangnya aku, laki-laki keluarga. Dia bahagia.

Dia lupa akan butanya. Ketika diremasnya tangan

neneknya, dia berkata: "Nek, bagaimana kamu bisa punya

tangan seputih ini?". Berderai air mata, azizah

menjawab, "Muhammad, ketahuilah, tangan azizah hitam

2

oleh umur, jelek oleh cuaca". Muhammad tidak menerima,

"Tidak mungkin. Tanganmu halus sekali" [kamera

berfokus kepada tangan Muhammad --kecil dan halus,

mengusap tangan azizah --tua, keriput, kurus].

Burung-burung bernyanyi, mengiringi cinta di antara

dua manusia itu.

Tetapi, warna-warna tidak abadi. Bapa semakin gelisah

akan penghasilannya yang sangat minim dan kewajibannya

menghidupi keluarga. Dan, oh, hatinya tertambat kepada

seorang janda di desa sebelah. Menikahi sang kasih

tidaklah semudah mengangkat karung arang atau membelah

pohon sebagaimana pekerjaannya sehari-hari.

Tabungannya tidak ada, penghasilannya selalu kurang.

Tapi, oh. Haruskah aku hidup begini selamanya? Maka si

laki-laki tua berkeputusan: melamar. Dengan segala

ketakadaan, mahar dia sediakan. Dan, demi sedikit

mengurangi tanggungan, Muhammad harus di"titipkan"

kembali.

[Dan ini yang aku suka: sentuhan wanita pada filem

mengambil tempat]. Nenek dan kedua saudara Muhammad

protes keras. Mereka tidak rela Muhammad dijauhkan

lagi dari keriaan keluarga miskin itu. Muhammad pun

begitu. Dia merasakan kebahagiaan bersama nenek yang

mengasihinya. Dia bisa mengikuti pelajaran di sekolah

normal di desa bersama saudaranya. Dia bisa "melihat"

warna-warna surga di desa itu. Tapi tidak demikian

dengan bapanya.

Dalam kelengahan nenek, bapa memaksa membawa Muhammad

ke desa lain. Ia dititipkan ke tukang kayu tunanetra.

Disuruh bekerja agar kelak bisa mandiri. Maka, dari

mata buta yang kecil itu, kembali mengalir air...

Dengan hilangnya Muhammad, warna menjadi gelap. Nenek

sakit dan akhirnya mati. Bahareh dan Hanieh sedih dan

menangis merindukan saudaranya. Bapa dilanda sesal,

apalagi setelah lamarannya dibatalkan. Lelaki tua itu

tak berdaya. Menangis meraung. Ia rindu pada Muhammad.

Dan, bapa kembali menjemput Muhammad. Tanpa uang buat

bayar bis, ia memutuskan naik kuda. Dalam

perjalann pulang dengan Muhammad di atas kuda itu,

jembatan kayu ambruk. Muhammad dan kuda hanyut di

tengah arus deras sungai dan hujan yang marah. Si bapa

tertegun melihat anaknya ditelan alam. Ia melompat.

Tapi apalah daya seorang tua peragu. Ia pun hanyut...

Ketika bangun, ia mendapati diri di sebuah pantai sepi

dengan burung-burung di atas memandang. Dan di sana.

Di sana ada tubuh Muhammad. Mati. Dia, si bapa,

berlari menjemput anaknya. Dipeluknya dalam tangis tak

berkesudahan...

[fokus kamera pindah ke tangah Muhammad, bercahaya,

bergerak kemudian tamat....] /Chicago, 2000. (i.o.)

source : http://www.patunru.org/