Kamis, 23 Juli 2009
2001: A Space Odyssey (1968)
Imdb Rating : 8.4/10
Sinopsis :
Sebuah monolit muncul tiba-tiba di tengah manusia purba. Entah bagaimana, kehadiran monolit itu memberi ide penggunaan alat pertama: tulang yang digunakan sebagai alat pukul. Dengan alat itu, sebuah suku Cro-Magnon menang atas suku lain, menguasai sebuah mata air. Pada 2001, monolit serupa ditemukan di bulan. Monolit itu diperkirakan berusia 4 juta tahun, dan mengirim sinyal kuat ke Jupiter. Beberapa bulan kemudian, sebuah misi rahasia dikirim ke Jupiter. Pesawat dilengkapi komputer tercanggih, sebuah “otak” Kecerdasan Buatan (Artificial Inteligent), bernama HAL 9000. Komputer itu tumbuh seolah memiliki kesadaran tersendiri, dan memberontak, membunuh secara terencana para awak, kecuali seorang: Dave. Setelah Dave berhasil memutus kesadaran HAL, ia menemukan misi rahasia Jupiter itu. Ia terlontar ke sebuah wormhole. Ruang dan waktu pun terlipat bagi Dave.
Kubrick, kita tahu, akhirnya membuat dongkol dua penulis. Arthur C. Clarke (penulis 2001: Space Odyssey) dan Stephen King (penulis The Shinning) sama-sama tak puas atas hasil akhir adaptasi novel mereka jadi film di tangan Kubrick.
Clarke adalah penulis science fiction terkemuka, sekaligus penulis sains populer terhormat. Walau proses adaptasi novelnya ini melibatkan percakapan intensif dengan Kubrick, toh pada akhirnya film ini menjadi sama sekali lain dari yang Clarke harapkan. Malah, film ini memang lain dari nyaris semua orang harapkan dalam menonton film sci-fi.
Seperti kata Roger Ebert, dalam The Great Movies, film ini mengajak seni film untuk keluar dari naratif biasa. (“Beyond narratives”, sebut Ebert.) Oh, memang ada semacam struktur (film ini dibagi empat babak); ada juga semacam pesan. Tapi jelas pula, Kubrick lebih tertarik menyusun serangkaian puisi visual.
Seperti kata Ebert pula, hakikatnya film ini adalah “film bisu”. Adegan-adegan percakapan seakan sengaja dirancang untuk sekadar menampakkan ada orang-orang saling bercakap, sementara isi percakapan itu sendiri tak seberapa penting. Tapi untuk sebagian besar waktu film berdurasi lebih dari 2 jam ini, Kubrick membiarkan keheningan yang berlarat-larat.
Bahkan di babak akhir, dalam bagian perjalanan Dave di wormhole, kita disajikan aneka sensasi visual murni: tembakan laser aneka warna, pola-pola cahaya yang aneh, sebuah perjalanan jiwa yang sunyi. Sedemikian psikadeliknya bagian ini (walau, kalau dipikir-pikir, bagian selebihnya film ini pun cukup psikadelik), hingga sewaktu diputar di bioskop pada awal 1970-an, banyak hippies atau kaum counterculture yang menontonnya sambil nyimeng. Tagline untuk film ini pada saat itu: “far out!” –sebuah ungkapan orang yang masyuk menikmati ganja atau LSD.
Dalam 2001: A Space Odyssey, Kubrick memilih suasana ruang angkasa yang sesungguhnya: hening dan lambat. Adegan pesawat melandas di stasiun angkasa di atas bumi, misalnya –dan banyak adegan pesawat angkasa pergi atau tiba—sengaja dibuat begitu lambat, namun diiringi oleh musik Blue Danube karya Strauss. Efeknya: pesawat angkasa itu seperti sedang menari balet klasik. Adegan di dalam kabin pesawat angkasa pun dibuat lambat.
Misalnya, adegan seorang pramugari mengantarkan makanan ke pilot. Pada adegan sebelumnya, kita dibuat tertarik dengan cara jalan sang pramugari yang aneh. Soalnya ternyata, itu adalah ruang hampa udara. Dan si pramugari, berjalan dengan sepatu magnet. Lalu sang pramugari berjalan perlahan di sepanjang selasar, dan, tiba-tiba, secara perlahan pula, ia berjalan tegak lurus di dinding, dan masuk ke sebuah pintu dengan tenang sambil dalam posisi jungkir balik!
Kamera lebih banyak diam dalam film ini –seolah kalem menikmati keheningan alam semesta. Sejak vista-vista pemandangan senja di babak masa manusia purba, hingga kehidupan sehari-hari di pesawat ke Jupiter, kamera tak banyak bergerak. Pada adegan pembunuhan kejam oleh HAL 9000 kepada salah seorang astronot, kamera diam itu tak lagi nikmat, tapi dingin dan menyiksa: penonton merasa tak berdaya karena dipaksa memandang pasif pada kejadian itu.
Ada memang, saat-saat kamera bergerak beberapa jenak. Adegan olahraga seorang awak di kapal Jupiter misalnya. Kapal itu berbentuk lingkaran, dan si awak berjalan cepat sambil olah badan menapaki ruang melingkar itu. Mulanya, kamera statis, agar kita cukup menyerap kesadaran ruang yang aneh itu. Kemudian, kamera bergerak mengikuti si awak dari belakang, dengan handheld kamera yang sedikit tak stabil: seolah kita ikut berjalan di ruang aneh itu.
Untuk mencapai puisi gambar yang sempurna, Kubrick (bersama ahli efek khusus Douglas Trumbull) dengan telaten membangun setting yang sebisa mungkin akurat. Komposisi (tata letak benda di dalam frame kamera) penuh perhitungan. Tata cahaya pun dihitung dengan telaten. Kesan keseluruhan, film ini minimalis, tapi terasa padat dan berat.
Saya jadi teringat sebuah judul novel dari Milan Kundera, yang cocok sekali untuk menggambarkan rasa saya menonton film ini: Unbearable Lightness of Being. Film ini puitik, ringan; bukan prosaik, tidak “berat-berisi”. Tapi ringan itu alangkah tak terpikulnya!
Barangkali seperti ruang angkasa itu sendiri: ruang tanpa berat yang begitu menekan. Mungkin karena keluasannya, yang memaksa kita merasa kecil dan bertanya-tanya: siapakah kita di alam maharaya ini? **
http://hikmatdarmawan.multiply.com/
Label:
Resensi FiLm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar