Kejadian demi kejadian pun berlangsung, Ali beberapa kali harus berbohong pada gurunya karena ia terlambat. Bahkan pernah sekali waktu, ia harus dihukum karena tidak memakai kaus kaki akibat sepatunya basah setelah Zahra tak sengaja menjatuhkannya ke selokan. Sementara, sang adik selalu merengek-rengek pada Ali untuk segera mengganti sepatunya yang hilang.
Kegalauan Ali akhirnya terjawab. Suatu hari, ia melihat pengumuman di sekolah bahwa akan diadakan lomba lari marathon. Untuk juara kedua, hadiahnya adalah sepatu baru. Melihat kesempatan ini, Ali amat mengidam-idamkan untuk menjadi juara kedua agar ia bisa mengganti sepatu adiknya. Kemudian Ali pun bekerja keras agar gurunya mengijinkan ia mengikuti lomba tersebut. Dan walhasil, dari tes yang dilakukan, Ali-lah yang kemudian lulus menjadi delegasi sekolahnya untuk mengikuti lomba lari marathon tersebut.
Tak ada yang unik dan lucu dari lomba lari marathon tersebut. Semua berjalan normal, seperti di pertengahan jalan beberapa anak ada yang menyerah atau tertinggal. Keunikan hanya terjadi pada Ali. Ia yang mengincar juara dua selalu berusaha agar menempati posisi kedua bagaimanapun caranya dan dengan kecepatan larinya ia selalu mampu menjaga posisinya tetap di urutan kedua. Namun sayangnya, di beberapa meter menjelang garis finish, karena tak ingin tertinggal ia memacu langkahnya lebih cepat. Ia pun lupa kalau ia harus tetap berada di posisi kedua. Akhirnya Ali pun menjadi juara pertama.
Tapi, justru Ali tak senang dengan kemenangannya sebagai juara pertama karena itu artinya ia kehilangan hadiah sepatu untuk adiknya. Ali pun bersedih dan dengan terpaksa harus mengatakan kekalahannya pada adiknya. Melihat kegigihan kakaknya untuk mengembalikan sepatunya, Zahra akhirnya tidak tega. Alih-alih marah, ia justru membantu mengobati luka di kaki kakaknya hasil kerja keras untuk berlari menjadi pemenang. Di akhir cerita, sang Ayah tampaknya tahu nasib hilangnya sepatu Zahra dan rusaknya sepatu Ali untuk berlari. Tanpa sepengetahuan kedua anaknya, sang Ayah mempunyai kejutan sepatu baru buat Ali dan Zahra yang ia beli di pasar.
Kegalauan Ali akhirnya terjawab. Suatu hari, ia melihat pengumuman di sekolah bahwa akan diadakan lomba lari marathon. Untuk juara kedua, hadiahnya adalah sepatu baru. Melihat kesempatan ini, Ali amat mengidam-idamkan untuk menjadi juara kedua agar ia bisa mengganti sepatu adiknya. Kemudian Ali pun bekerja keras agar gurunya mengijinkan ia mengikuti lomba tersebut. Dan walhasil, dari tes yang dilakukan, Ali-lah yang kemudian lulus menjadi delegasi sekolahnya untuk mengikuti lomba lari marathon tersebut.
Tak ada yang unik dan lucu dari lomba lari marathon tersebut. Semua berjalan normal, seperti di pertengahan jalan beberapa anak ada yang menyerah atau tertinggal. Keunikan hanya terjadi pada Ali. Ia yang mengincar juara dua selalu berusaha agar menempati posisi kedua bagaimanapun caranya dan dengan kecepatan larinya ia selalu mampu menjaga posisinya tetap di urutan kedua. Namun sayangnya, di beberapa meter menjelang garis finish, karena tak ingin tertinggal ia memacu langkahnya lebih cepat. Ia pun lupa kalau ia harus tetap berada di posisi kedua. Akhirnya Ali pun menjadi juara pertama.
Tapi, justru Ali tak senang dengan kemenangannya sebagai juara pertama karena itu artinya ia kehilangan hadiah sepatu untuk adiknya. Ali pun bersedih dan dengan terpaksa harus mengatakan kekalahannya pada adiknya. Melihat kegigihan kakaknya untuk mengembalikan sepatunya, Zahra akhirnya tidak tega. Alih-alih marah, ia justru membantu mengobati luka di kaki kakaknya hasil kerja keras untuk berlari menjadi pemenang. Di akhir cerita, sang Ayah tampaknya tahu nasib hilangnya sepatu Zahra dan rusaknya sepatu Ali untuk berlari. Tanpa sepengetahuan kedua anaknya, sang Ayah mempunyai kejutan sepatu baru buat Ali dan Zahra yang ia beli di pasar.
Dari Kerja Keras, Lahir Kebanggaan
Cerita tersebut adalah versi tertulis dan sinopsis dari film drama kehidupan yang bertajuk Children of Heaven. Film ini dikemas dengan sederhana dan mengangkat tema kehidupan sehari-hari di Iran. Dengan latar belakang komplek perumahan yang lengkap dengan interaksi masyarakat di dalamnya membuat film yang dibintangi dua bintang kecil, Amir Farrokh Hashemian (sebagai Ali) dan Bahare Seddiqi (sebagai Zahra) terasa dekat dengan aktivitas kita sehari-hari.
Film unik yang menyabet penghargaan Best Picture dari Festival Film Montreal dan menjadi nominator untuk kategori Best Foreign Film pada Academy Award tahun 2004 ini lahir dari kerja keras seorang sutradara asal Iran, Majid Majidi. Selain Children of Heaven sutradara muslim ini telah menelurkan beberapa judul film lainnya seperti Baduk (1992), Pedar (1996), The Color Of Paradise (1999), Baran (2001), dan The Willow Tree (2005).
Baran dan The Color of Paradise menjadi dua film lainnya yang mendapat penghargaan internasional pula. Baran bercerita tentang seorang pemuda bernama Latif. Latif yang bekerja di sebuah areal pembangunan gedung jatuh cinta pada seorang perempuan bernama Baran yang menyamar jadi laki-laki dan bekerja di tempat yang sama dengannya. Baran sendiri dikisahkan sebagai seorang perempuan Afghanistan yang mengungsi secara ilegal ke Iran.
Sementara The Color of Paradise menceritakan tentang sulitnya komunikasi antara anak yang bisu dan ayahnya yang merasa kehadiran sang anak menyusahkan kehidupannya. Kedua film ini menjadi simbolisasi atas opini Majid atas kehidupan sosial, budaya, dan politik di dunia.
Majid lahir di Tehran, Iran, tahun 1959. Ia lahir dari keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke atas. Latar belakang keluarganya yang demikian membuat ia peka terhadap fenomena-fenomena sosial, politik, maupun kemasyarakatan lain di sekitarnya. Itulah yang di kemudian hari mendorongnya untuk membuat film-film yang bersentuhan dengan kehidupan keseharian.
Laki-laki yang kini dikenal dunia internasional sebagai produser, penulis skenario, dan sutradara film ini mengawali karir perfilmannya saat ia berumur 14 tahun. Saat itu, ia mulai berakting kecil-kecilan di kelompok teaternya. Ternyata, naluri akting dan film-nya mulai nampak. Karenanya kemudian ia meneruskan sekolah ke Institute of Dramatic Art di Teheran.
“Saya mulai berakting dalam teater sekitar umur 13 atau 14 tahun. Saya tergila-gila pada akting, tapi membuat film membuat saya lebih tergila-gila. Akhirnya, kesempatan datang dan saya membuat film Baduk. Di Iran, ada tradisi untuk menampilkan seni teater sama seperti sebuah film,” tuturnya sutradara yang namanya kian dilirik dunia internasional ini.
Setelah Revolusi Islam di Iran pada 1978 yang menumbangkan kerajaan Dinasti Pahlevi, minatnya pada dunia sinematografi membawanya untuk membintangi berbagai film. Salah satunya film terkenal yang Majid bintangi berjudul Boycott garapan sutradara Mohsen Makhmalbaf pada 1985. Selain itu, ia juga sudah mulai merintis pembuatan filmnya sendiri dalam format film-film pendek dan film dokumenter.
Akhirnya, pada 2004, namanya tercantum sebagai satu-satunya sutradara dari Iran yang dinominasi pada Academy Award untuk film Children of Heaven. Berturut-turut setelah itu, namanya selalu tercantum sebagai pemenang maupun nominator di dunia internasional. Sebut saja beberapa penghargaan yang ia dapat antara lain kategori Best Picture untuk filmnya yang berjudul The Color of Paradise yang sekaligus terpilih sebagai 10 film terbaik menurut majalah Time selama tahun 2000. Film-film buah karya Majid pada akhirnya disebut-sebut sebagai film yang sarat nilai dan kaya akan simbolisasi kehidupan.
Film dan Kehidupan
Setidaknya, karya-karya Majid menyentuh tiga sisi. Pertama cerita tentang isu sosial politik yang sedang hangat dibicarakan dunia, seperti kasus pengungsi asal Afghanistan yang membanjiri Iran. Isu ini ia tuangkan dalam Baran yang bercerita tentang perempuan asal Afghanistan yang menyamar sebagai laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan.
“Baran merupakan simbolisasi orang Afghanistan yang tidak bisa mengekspresikan dirinya. Orang-orang Afghanistan tidak bisa berbicara,” begitu penjelasannya mengenai diamnya tokoh Baran dalam filmnya.
Kedua, tentang sisi kehidupan yang nyaris tak terjamah karena sibuknya masyarakat pada berbagai masalah kehidupan. Dan ketiga, tentang cinta yang dikaitkan pada isu ras atau perbedaan golongan.
Film yang Majid muat memang diangkat dari kisah-kisah sederhana namun dibalik itu ia selalu menyelipkan pesan-pesan yang terkait dengan masalah sosial, budaya, hingga politik. Simbol-simbol itu nampak pada perilaku diamnya seseorang, kemiskinan yang menyebabkan kesulitan untuk berinteraksi dengan sesama, hingga kesulitan komunikasi akibat masalah fisik maupun mental.
Majid sendiri mengaku tidak menghindar dari masalah politik, tapi ia justru memberinya sentuhan lebih mencoba memberikan sesuatu yang bernilai dengan memberikan sentuhan manusiawi. Ini semua terkait dengan latar belakang budayanya yang dibesarkan di Iran. Menurutnya, Iran adalah negara tua yang punya sejarah budaya tersendiri. Budaya Iran banyak dipenuhi puisi-puisi yag bersentuhan dengan kehidupan manusia. Pada akhirnya, tradisi tersebut merambah ke semua sisi kebudayaan yang didukung oleh kepercayaan yang masyarakat Iran miliki. Karenanya memunculkan kembali sisi dan nilai-nilai kemanusiaan menjadi semacam kerangka kerjanya dalam membuat sebuah film.
“Sekarang, dunia dan negeri Barat mulai melupakan sisi-sisi kemanusiaan, nilai-nilai kebudayaan, dan saling menyayangi, “ jelasnya, “Saya selalu mencari perasaan terjujur dan hadiah paling indah dunia, contohnya seperti kebajikan. Dalam rasa hormat itu, saya menemukan bahwa tidak ada dunia yang lebih sederhana, murni, dan begitu indah selain dunia anak-anak. Saya mengambil dunia anak-anak ini dengan sungguh-sungguh, karena ia amat dekat dengan kenyataan. Ketika kita melihat Children of Heaven, selain ada anak-anak juga ada orangtua mereka.
Majid juga berupaya memberikan gambaran pada dunia tentang seperti apa Islam sebenarnya. Terbukti bahwa film Baran kemudian menjadi representasi penggambaran wanita Islam yang mengimbangi prasangka negatif dunia Barat bahwa wanita dalam Islam pun pada kenyataannya mempunyai hak yang sama dalam memilih dan menjalani kehidupan. Ia juga berupaya menampilkan citra umat Islam yang bisa hidup berdampingan walau berbeda bahasa dan suku.
Keberhasilan film-film Majid di dalam negeri maupun dunia internasional menjadi kebanggaan tersendiri pada negeri Iran khususnya dan masyarakat Islam pada umumnya. Masa-masa awal karirnya, Iran adalah negeri yang amat membatasi diri pada sesuatu yang berasal dari luar, terutama Barat. Akhirnya, banyak kebijakan yang pada akhirnya menyulitkan masyarakat Iran untuk bisa mengeksporasi kemampuannya dan berkreasi dengan maksimal.
Majid mengaku beberapa temannya sesama sutradara ada yang ditangkap pemerintah karena film-filmnya dinilai tidak sesuai dengan peraturan. Dengan keterbatasan itulah, Majid justru bangkit untuk mengemas sesuatu lebih cantik dan sederhana. Film-film Majid minim efek suara maupun lagu-lagu pendukung. Jangankan efek visual, tampilan gambarnya bahkan amat natural apa adanya. Tapi, di balik kekurangan itu, film Majid tampil dengan keunikan tersendiri yang justru menjadi nilai lebih untuk kontribusi dunia perfilman dunia, terlebih yang berasal dari dunia Islam.
“Ada perbedaan di antara masyarakat pada sisi ekonomi dan teknologi. Namun, nilai-nilai kemanusiaan adalah nilai yang universal karena manusia diciptakan sama oleh Tuhan. Tentu saja perasaan, emosi dan aspirasi seperti cinta, persahabatan, kepahlawanan, dan sebagainya ada di setiap manusia. Bahasa seni dapat memfasilitasi dan membawa semua orang dalam perasaan yang sama tentang kemanusiaan walaupun berbeda ras, budaya, dan negara. Saya pikir film-film Iran telah menemukan bahasa ini dan dunia saat ini. Kehausan akan cinta dan persahabatan dimengerti tanpa kesulitan,” jelasnya mengomentari keberhasilan film-film Iran.
Setidaknya, karya-karya Majid menyentuh tiga sisi. Pertama cerita tentang isu sosial politik yang sedang hangat dibicarakan dunia, seperti kasus pengungsi asal Afghanistan yang membanjiri Iran. Isu ini ia tuangkan dalam Baran yang bercerita tentang perempuan asal Afghanistan yang menyamar sebagai laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan.
“Baran merupakan simbolisasi orang Afghanistan yang tidak bisa mengekspresikan dirinya. Orang-orang Afghanistan tidak bisa berbicara,” begitu penjelasannya mengenai diamnya tokoh Baran dalam filmnya.
Kedua, tentang sisi kehidupan yang nyaris tak terjamah karena sibuknya masyarakat pada berbagai masalah kehidupan. Dan ketiga, tentang cinta yang dikaitkan pada isu ras atau perbedaan golongan.
Film yang Majid muat memang diangkat dari kisah-kisah sederhana namun dibalik itu ia selalu menyelipkan pesan-pesan yang terkait dengan masalah sosial, budaya, hingga politik. Simbol-simbol itu nampak pada perilaku diamnya seseorang, kemiskinan yang menyebabkan kesulitan untuk berinteraksi dengan sesama, hingga kesulitan komunikasi akibat masalah fisik maupun mental.
Majid sendiri mengaku tidak menghindar dari masalah politik, tapi ia justru memberinya sentuhan lebih mencoba memberikan sesuatu yang bernilai dengan memberikan sentuhan manusiawi. Ini semua terkait dengan latar belakang budayanya yang dibesarkan di Iran. Menurutnya, Iran adalah negara tua yang punya sejarah budaya tersendiri. Budaya Iran banyak dipenuhi puisi-puisi yag bersentuhan dengan kehidupan manusia. Pada akhirnya, tradisi tersebut merambah ke semua sisi kebudayaan yang didukung oleh kepercayaan yang masyarakat Iran miliki. Karenanya memunculkan kembali sisi dan nilai-nilai kemanusiaan menjadi semacam kerangka kerjanya dalam membuat sebuah film.
“Sekarang, dunia dan negeri Barat mulai melupakan sisi-sisi kemanusiaan, nilai-nilai kebudayaan, dan saling menyayangi, “ jelasnya, “Saya selalu mencari perasaan terjujur dan hadiah paling indah dunia, contohnya seperti kebajikan. Dalam rasa hormat itu, saya menemukan bahwa tidak ada dunia yang lebih sederhana, murni, dan begitu indah selain dunia anak-anak. Saya mengambil dunia anak-anak ini dengan sungguh-sungguh, karena ia amat dekat dengan kenyataan. Ketika kita melihat Children of Heaven, selain ada anak-anak juga ada orangtua mereka.
Majid juga berupaya memberikan gambaran pada dunia tentang seperti apa Islam sebenarnya. Terbukti bahwa film Baran kemudian menjadi representasi penggambaran wanita Islam yang mengimbangi prasangka negatif dunia Barat bahwa wanita dalam Islam pun pada kenyataannya mempunyai hak yang sama dalam memilih dan menjalani kehidupan. Ia juga berupaya menampilkan citra umat Islam yang bisa hidup berdampingan walau berbeda bahasa dan suku.
Keberhasilan film-film Majid di dalam negeri maupun dunia internasional menjadi kebanggaan tersendiri pada negeri Iran khususnya dan masyarakat Islam pada umumnya. Masa-masa awal karirnya, Iran adalah negeri yang amat membatasi diri pada sesuatu yang berasal dari luar, terutama Barat. Akhirnya, banyak kebijakan yang pada akhirnya menyulitkan masyarakat Iran untuk bisa mengeksporasi kemampuannya dan berkreasi dengan maksimal.
Majid mengaku beberapa temannya sesama sutradara ada yang ditangkap pemerintah karena film-filmnya dinilai tidak sesuai dengan peraturan. Dengan keterbatasan itulah, Majid justru bangkit untuk mengemas sesuatu lebih cantik dan sederhana. Film-film Majid minim efek suara maupun lagu-lagu pendukung. Jangankan efek visual, tampilan gambarnya bahkan amat natural apa adanya. Tapi, di balik kekurangan itu, film Majid tampil dengan keunikan tersendiri yang justru menjadi nilai lebih untuk kontribusi dunia perfilman dunia, terlebih yang berasal dari dunia Islam.
“Ada perbedaan di antara masyarakat pada sisi ekonomi dan teknologi. Namun, nilai-nilai kemanusiaan adalah nilai yang universal karena manusia diciptakan sama oleh Tuhan. Tentu saja perasaan, emosi dan aspirasi seperti cinta, persahabatan, kepahlawanan, dan sebagainya ada di setiap manusia. Bahasa seni dapat memfasilitasi dan membawa semua orang dalam perasaan yang sama tentang kemanusiaan walaupun berbeda ras, budaya, dan negara. Saya pikir film-film Iran telah menemukan bahasa ini dan dunia saat ini. Kehausan akan cinta dan persahabatan dimengerti tanpa kesulitan,” jelasnya mengomentari keberhasilan film-film Iran.
Jury Award of San Sebastian Film Festival, 1996.
Montreal International Film Festival untuk kategori Best Picture, 1997.
Grand Prix of Americas Best Film, 21th Montreal Festival untuk World Films, 1999. Nominasi pada Academy Awards untuk kategori Best Foreign Film, 1999.
Terpilih sebagai satu dari 10 film terbaik sepanjang tahun 2000 oleh Majalah Time.
Oecumenical Special Award, 25th Montreal Film Festival, 2001.
Grand Prix Des Ameriques, 25th Montreal Film Festival, 2001.
Penghargaan Douglas Sirk Award pada 2001.
Penghargaan Amici Vittorio de Sica Award pada 2003.
Tehran Fajr Festival, meraih empat penghargaan, 2005.
source : dari blog lain..lupa namanya ..maap ..maap ...maap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar